“Kamu apa kabar?” Katanya memulai di percakapan telepon seluler.
“Aku baik-baik saja, bagaimana denganmu?”
“Aku juga baik-baik saja kok, hemm kamu mau meneruskan studi atau mau bekerja?” Tanyanya mengenai diriku.
“Aku bekerja, kamu bagaimana? Pasti lanjut studi ya? Aku sih memilih bekerja dulu siapa tau aku bisa mengumpulkan uang dari hasil bekerjaku untuk di masa yang akan datang, amin.” Jelasku, ya mungkin itu apa yang aku rasakan, mungkin juga ada faktor lain yang menghambat keinginanku berlanjut ke bidang studi.
“Amin. Semoga bisa tercapai keinginanmu, kalau aku sih aku mau pending dulu lah. Hehe” Katanya yang membuatku agak tidak suka “seperti tidak ada kerjaan saja” pikirku dalam hati.
Ya begitu banyak percakapan yang aku dan dia buat di dalam sebuah telepon genggam, awalnya aku tak percaya ketika ia berani untuk meminta nomorku dan mamberiku sebuah pesan singkat yang dikirimkannya untukku. Dia adalah teman semasa kecilku ketika aku menduduki bangku SMP di sebuah sekolah yang berbasis Islam. Dia adalah orang yang dulu aku kenal dengan kebiasaan jahilnya yang benar-benar ia lakukan yang bisa membuatku tertawa. Cukup aneh jika aku merasakan dulu ada sesuatu yang berbeda terhadap aku dengannya.
“Kamu mau ikut gak?” Tanyaku di sebuah pesan singkat.
“Kemana?” Jawabnya singkat.
“Kita-kita mau ke berkumpul di rumah Ara, kamu mau ikut gak? Kan katanya kamu kangen temen-temen MTs.”
“Iya sudah, nanti kita janjian aja ya? Soalnya aku enggak tau rumahnya dimana?”
“Ya udah, janjian di Proklamasi ya, jangan jauh-jauh kan malem. Rumahnya di Merdeka kok, apa kamu langsung aja kesana?”
“Aku tau Merdeka tapi aku enggak tau dimana rumahnya.”
“Ya udah tunggu aja di situ, nanti aku suruh Ara aja yang nyamperin kamu.”
“Oke oke, jam berapa itu?”
“Nanti aku kabarin ya.”
Tiba saatnya aku pergi ke rumah Ara, meski hanya sekedar berkumpul, akan tetapi itu sangat bermakna untukku. Waw.. dia yang aku lihat, dia yang aku tau, dan dia yang aku kenal ketika MTs kini berubah menjadi seorang remaja laki-laki yang menurut ku memang pantas terjadi ketika dewasa. Salah satunya dia bertambah tinggi, dan tinggi sekali melewati diriku.
“Cie cie teman lama bertemu kembali…” Ledek Ara yang membuat dia dan salah seorang temannya menjadi salting (salah tingkah).
“Apa sih Ara, hahaha” Jawab si Dia.
“Ciee sok sokan gak tau gituuu tuh..” Lanjut Ara.
“Berisik banget Ara, hahaha..” Sambung ku yang meledek balik Ara.
Beberapa hari kemudian telah berlangsung, aku dan dia sudah jarang berkomunikasi saat dia menyatakan perasaannya kepadaku. Aku merasa apakah aku memberinya sebuah harapan padahal yang ku inginkan adalah sebuah persahabatan? Ya dulu aku menyukainya, sampai saat ini, dia adalah salah seorang yang membuatku rindu akan bertanya-tanya bagaimana kabarnya. Tapi aku merasa aku tak mau memberikannya sebuah harapan, meski begitu ketika masih kami berkomunikasi.
Tring tring tring…
Bunyi hapeku ada pesan yang biasanya tak ada ketika aku sedang bersama orang yang aku sayangi, yaitu kekasihku.
“Siapa itu lihat?” Katanya sambil melihat handphone yang baru saja aku keluarkan dari sebuah tas yang ku bawa.
“Oh, bukan siapa-siapa kok, temanku mengirim pesan.”
“Iya siapa? Coba aku lihat.” Sambungnya lagi sambil merebut handphone yang aku pegang.
“Oh, Cie ada cowok yang SMS kamu nih, aku balas ya?”
“Ih jangan ngapain sih bales SMS dia, biarin aja diemin aja SMSnya, lagi juga Cuma bilang selamat pagi doing kok.”
“Oh belain temen kamu ya? Ya udah maaf ya aku salah, ini handphone aku kembalikan.” Katanya sambil mengembalikan handphoneku ke tanganku.
“Hayo kita pulang.” Sambungnya lagi.
“Kita cukup sampai disini saja ya, aku minta maaf kalau selama ini aku salah.” Kata temanku yang tiba-tiba memberikanku pesan.
“Maksud kamu?”
“Iya aku mau menjauh dari kamu, aku gak suka dituduh-tuduh begitu.”
“Maafin dia ya, dia memang begitu, tapi kamu gak tau gimana sebenernya dia sekarang, dia lebih dari aku, aku sama kamu kan hanya berteman, kenapa kamu mau jauhin aku?”
“Iya udah aku mau begitu aja, mungkin hanya aku yang mengerti perasaan aku.”
“Maafin dia yaaa..” Kataku aku yang memang tidak menyukai orang yang seperti itu, kalau dia tahu yang sebenarnya mungkin dia akan merasakan apa yang aku rasa. Ucap ku dalam hati.
Dan dia pun tak membalas pesanku. Kekasihku pun juga mulai dengan kebiasaannya yang sudah mulai berubah semenjak dia memulai studinya di sebuah Universitas Swasta di daerah Bogor. Tak tahu aku mengapa ia mulai berbeda apakah karena ia sibuk dengan tugas yang deadline itu ataukah ia sibuk bersama teman-temannya, sungguh dia berubah 100% buatku.
Entah, aku semakin terguncang, jiwa dan fikiranku tak stabil. Apa yang aku rasakan mungkin tak dirasakan oleh orang lain yang memiliki perasaan sama denganku. Aku butuh seorang teman, teman untuk bercerita sebagaimana aku bisa meluapkan semuanya. Tapi aku fakir “Siapa yang bisa aku ajak bercerita? Toh mereka teman-temanku sudah sibuk dengan dunianya, begitu juga dengan kekasihku, sama sekali sudah tak peduli akan kehadiranku meski aku hanya memberinya sebuah pesan.”
Yaa mungkin dari sebagian orang ini seperti anak kecil, tapi apakah salah jika hal ini aku yang rasakan?
Apakah aku tak pantas seperti mereka?
Setidaknya aku paham, bahwa di dunia ini yang benar-benar peduli terhadap diriku adalah orangtuaku, meskipun mereka juga tak tahu apa yang aku rasakan.
0 komentar:
Posting Komentar